UCAPAN MENENANGKAN YANG MUNGKIN TAK LAGI BIKIN TENANG

Andry Waseso
4 min readJan 31, 2021

--

Belum lama ini, WHO memperingati setahun wabah Covid19 hadir di bumi. Dalam kurun waktu tersebut, vaksinasi telah mulai dilakukan di sejumlah negara, kampanye protokol kesehatan digaungkan secara global, dan karantina wilayah diterapkan di banyak tempat. Bagaimana pun, sampai sekarang kita masih menghitung nyawa yang hilang dan kasus yang semakin membesar.

Di Indonesia, khususnya di media sosial, kita mulai banyak mendengar berita kerabat dan sahabat orang-orang berstatus Covid19 positif. Sebagian dari berita tersebut adalah berita kematian. Saya sendiri setidaknya sudah mengalami kehilangan hampir 20 orang yang saya kenal, akibat terkena Covid19, baik yang dengan komorbid maupun tidak. Ini belum menghitung yang “semata” positif dan sudah kembali sehat serta yang sampai sekarang masih positif.

Di awal wabah, kita diajak untuk berpikir positif, tidak panik dan tetap tenang menghadapi Covid19. Bahkan pembuat kebijakan sempat meremehkan penyakit tersebut. Belum lama ini, kita juga sempat diajak untuk bersyukur karena pandemi tidak terlalu parah dampaknya di sini. Yang kemudian menuai kecaman dari banyak orang yang mulai kelelahan.

Barangkali, pihak pembuat kebijakan melakukan itu untuk membuat kita tetap tenang dan tidak gaduh. Kita sendiri mungkin juga melakukannya pada satu sama lain. Kita ajak orang untuk tidak gelisah, tetap tenang, dan sebagainya.

Konon, ini ada dasar ilmiahnya. Ada banyak nasehat dari ranah ilmu kesehatan mental yang intinya menganjurkan kita untuk mengendalikan kepanikan terkait Covid19. Alasannya, panik bisa membawa pada stress. Stres sendiri diduga dapat menurunkan kekebalan tubuh seseorang. Bisa ditebak alur berpikirnya, ketika kekebalan tubuh menurun, maka kita semakin rentan terhadap Covid19.

Namun, setahun pandemi berjalan, anjuran untuk tetap tenang terasa sangat kontradiktif dengan kenyataan. Setiap hari kita mendengar berita bahwa pandemi bukannya mereda tapi justru malah makin parah. Sejumlah negara yang sempat berhasil menghentikan penyebaran Covid19 kini mengalami gelombang kedua ataupun ketiga wabah ini. Varian baru virusnya juga sudah muncul dengan implikasi yang berbeda-beda. Tercatat ada varian Inggris, Brazil dan Afrika Selatan.

Vaksinasi pun masih dipertanyakan efektivitasnya, khususnya sejak muncul varian-varian baru tersebut. Vaksin yang ada saat ini pun sebagian besar diproses dan digunakan di bawah konsep penggunaan darurat, bukan prosedur-prosedur paling ideal yang biasanya diterapkan.

Setelah vaksinasi, kita mungkin terlindungi dari dampak buruk virus tersebut tapi tidak menjamin kita kebal sepenuhnya. Orang yang sudah divaksinasi masih mungkin jadi OTG atau orang tanpa gejala dan menularkan virus ke orang lain.

Artinya, Anda masih tetap harus melakukan protokol kesehatan sesudah menerima vaksin. Lebih jauh lagi, vaksinasi sendiri tidak bisa dilakukan dengan cepat mengingat keterbatasan pasokan dan besarnya jumlah penduduk dunia, termasuk negeri kita.

Bagaimana bisa tetap tenang? Sebagian orang mungkin memilih pasrah. Sebagian lagi menyangkal kenyataan agar tetap tentram. Ada juga yang pada akhirnya tidak mampu menahan kegelisahannya dan mulai menunjukkan gejala kecemasan yang intensif.

Saat ini kita mungkin sudah sampai pada titik ketika mengatakan “jangan panik”, “jangan stress”, “tetap tenang”, dan sejenisnya sudah tidak lagi serelevan sebelumnya. Betul bahwa agar tidak stress kita perlu tenang. Namun, penyebab stress-nya muncul terus setiap hari. Bukan hanya berita tentang dampak wabah, tapi juga sebagian dari kita mulai gelisah dengan masa depan. Perekonomian banyak orang terganggu. Sebagaimana kita tahu, Covid19 tidak hanya menimbulkan dampak buruk di aspek kesehatan, tapi juga finansial dan karir.

Jadi bagaimana kita mengatasi situasi ini?

Sekarang bukan lagi waktunya untuk sekedar saling menenangkan. Justru saat ini kita harus menerima kegelisahan, kecemasan, dan kepanikan kita. Jangan terlalu banyak meredam ekspresi pengalaman emosi yang jujur ini ketika pemicunya justru masih terjadi setiap hari dan makin lama makin dekat dengan kita. Setiap orang butuh mengeluarkan beban emosional yang mereka alami.

Ketimbang terbebani keharusan untuk “tetap tenang”, kita perlu beralih fokus. Saat ini waktunya fokus pada tindakan dan penerimaan atas kenyataan. Selain mengendalikan perasaan dan pikiran, menanggulangi atau mencegah stress juga perlu tindakan nyata, bukan hanya untaian kata atau nafas yang tertata.

Caranya? Berikut beberapa yang bisa Anda lakukan.

Pertama, terima kenyataan. Termasuk menerima reaksi-reaksi emosional kita. Wajar kita panik. Wajar kita cemas. Wajar kita ketakutan. This is not a phobia. Ketakutan Anda beralasan.

Kedua, respons/tanggapi kenyataan dengan perbuatan yang tepat, dan bersiaplah pada perubahan. Banyak ahli kesehatan memberikan arahan berbasis fakta ilmiah tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan menghadapi penyakit ini.

Namun, ini penyakit baru. Dunia masih mencari-cari cara paling efektif untuk melawannya. Contoh, di awal pandemi, WHO mengatakan bahwa memakai masker memberikan rasa aman yang semu. Pada akhirnya WHO mengatakan bahwa memakai masker adalah tindakan utama yang perlu dilakukan semua orang, selain menjaga jarak dan mencuci tangan. Jadi bersiaplah untuk perubahan. Selalu perbaharui pengetahuan Anda tentang Covid19.

Ketiga, kendalikan sumber informasi Anda. Pastikan mengakses informasi akurat dari sumber yang terpercaya di tingkat lokal, nasional dan global. Hindari informasi yang sumbernya tidak jelas.

Keempat, berpartisipasilah untuk melindungi diri, keluarga, dan masyarakat terdekat Anda (baik dekat secara lebih permanen maupun sementara). Beri dukungan nyata pada mereka yang isolasi mandiri (sumbang makanan, bantu bawakan kebutuhan mereka, dll). Bantu tenaga kesehatan yang bertugas di garis depan.

Kelima, jaga silaturahim dengan orang-orang yang Anda kenal. Meskipun itu hanya dilakukan secara online, tapi tetap terhubung dengan sesama memberikan Anda lebih banyak ketenangan.

Keenam, meski kita belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tetaplah terbuka untuk belajar hal-hal baru untuk persiapan menjalankan kehidupan di masa yang tak menentu. Sehingga, ketika zaman baru telah datang dan kondisi menjadi lebih normal, Anda tidak harus mengejar ketinggalan.

Ketujuh, berhenti mengumbar nasehat “jangan stress”. Hadapi dan terima stress diri Anda, stress orang lain yang berimbas pada diri Anda, dan stress masyarakat Anda dengan melakukan enam langkah di atas. Bila Anda punya gagasan lain yang berorientasi pada tindakan nyata, itu juga bagus.

It is time to act. Real action is a huge part of keeping your mental health at optimum level.

_______________________

Catatan: bagi yang sedang menjalani konseling, medikasi kesmen dan psikoterapi, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan arahan dan saran dari psikolog/psikiater Anda yang lebih memahami kondisi kesehatan mental Anda secara individual. Tetaplah berpijak pada hasil-hasil medikasi, psikoterapi, konseling Anda untuk memastikan persoalan kesehatan mental Anda tertangani sesuai kondisi dan diagnosis yang ditegakkan.

--

--