Andry Waseso
3 min readFeb 28, 2020

TIGA TEORI PALING BERMANFAAT UNTUK SAYA

Aktivitas saya dalam psikoedukasi biasanya terdiri dari empat jenis layanan: penyuluhan, dukungan psikologis awal (psychological first aid), coaching dan diskusi ilmiah psikologi. Dalam melakukan keempatnya, saya punya beberapa teori favorit yang sungguhpun mendapat banyak kritik ilmiah, sangat berguna untuk membaca manusia secara umum.

Teori pertama adalah teori operant conditioning (OC). Teori ini berasal dari tradisi behavioristic yang menekankan perilaku yang nampak sebagai obyek studi psikologi.

Tradisi behavioristic buat saya sangat menarik karena tidak berpretensi "membaca" pikiran dan perasaan. Kedua ranah psikologis ini merupakan ranah yang sulit dibuktikan. Jadi, kaum penganut behavioris menghindari "terjebak" dalam analisis keduanya.

Sementara, tradisi ini sangat empiris dan jelas ukuran-ukuran obyektifnya.

Teori OC adalah bagian dari tradisi ini. Prinsip utamanya sederhana, perilaku akan bertahan dan semakin intense bila mendapatkan penguatan berupa sesuatu yang menyenangkan/memuaskan atau berupa keterhindaran dari sesuatu yang tidak enak/menyakitkan.

Penguatannya sendiri harus memiliki nilai bagi orangnya, dengan kata lain perlu cukup menyenangkan atau cukup melegakan (bila itu berupa terhindar dari rasa tidak enak).

Pengamatan yang sistematis diperlukan untuk menentukan apakah konsekuensi atau akibat dari sebuah perilaku berupa penguatan atau bukan. Bila perilaku menguat, maka bisa disimpulkan konsekuensinya memang berupa penguatan. Bila tidak pengaruh, maka tidak bisa disebut demikian.

Buat saya, teori ini berguna untuk memahami mengapa perilaku problematik dari orang yang saya berikan layanan coaching bertahan.

Contoh, kebiasaan menunda. Saya biasanya petakan apa saja hal-hal yang menjadi konsekuensi dari penundaan. Lalu saya menafsirkan konsekuensi mana yang membuat perilaku menunda bertahan. Di beberapa kasus terakhir saya menemukan bahwa mereka menunda suatu pekerjaan karena itu membuat mereka terhindar dari rasa tidak enak berupa susah payah berjuang. Jadi, meskipun mereka tidak mendapat penguatan berupa hal-hal menyenangkan, penundaan tetap dilakukan.

Teori lain yang sangat membantu saya adalah teori perjuangan mendapat superioritas (PMS, tapi bukan PMS yang itu). Teori ini menjelaskan bahwa hampir semua manusia lahir dengan rasa tidak berdaya alami. Asalnya dari fakta bahwa sebagian besar kita cukup lama berbadan kecil dan bergantung pada orang dewasa berbadan besar. Oleh karena itu, rasa inferior hinggap dengan kuat di jiwa setiap orang.

PMS menjadi isu setiap manusia. Tiap orang ingin merasa berdaya dan lebih jauh lagi, merasa hebat. Perasaan hebat ini sering menyamar dalam bentuk lebih halus sebagai rasa bangga dan rasa percaya diri. Sama sekali tidak salah, kecuali mengganggu orang lain secara nyata.

Perasaan, pikiran dan perilaku seseorang, menurut teori PMS, bersumber dari kebutuhan merasa berdaya ini.

Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka orang itu berisiko alami stress dan terwujud sebagai dua kemungkinan. Yang pertama adalah gangguan inferioritas (merasa tidak berdaya meski sebenarnya bisa) dan yang kedua gangguan superioritas (rasa berdaya tinggi yang semu, karena kenyataannya masih banyak hal perlu diperbaiki).

Jadi apa yang perlu dilakukan? Ini menyangkut teori ketiga yang jadi favorite saya yaitu teori acceptance atau teori keikhlasan. Teori ini mengajarkan bahwa menerima kenyataan adalah inti dari kesehatan mental. Bahkan ketika kita ingin mengubah kenyataan, terima dulu apa adanya saat ini.

Kenyataan utama yang pertama perlu diterima adalah diri sendiri. Terimalah diri apa adanya sebelum mencintai diri. Teori ini terbukti berhasil menjelaskan banyak gangguan stress dan menjadi pijakan untuk mengendalikan stress.

Orang-orang yang mengawali perkembangan diri dari menerima kenyataan biasanya lebih mudah untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Ini karena mereka juga lebih akurat memetakan persoalan mereka tanpa bias-bias penyangkalan.