Andry Waseso
1 min readFeb 28, 2020

KEBAHAGIAAN TIDAK SELALU BERGUNA

Photo oleh: Lunalda Kanzeila

Gelombang ajakan berpikir positif dan selalu berbahagia begitu masif mempengaruhi cara berpikir manusia sejak akhir abad 20 dan awal abad 21. Saking kuatnya ajakan ini, sampai-sampai mereka yang tidak terajak dianggap kurang termotivasi dan sampai batas tertentu dipandang kurang sehat mental.

Faktanya, manusia dirancang untuk merasakan semua emosi dan berpikir positif negatif dengan kadar yang proporsional. Jadi, keharusan bersikap positif justru menambah tekanan psikologis karena tidak benar-benar alami. Otak kita adalah mesin yang mengakomodasi semua emosi dan pikiran. Memaksanya membatasi diri malah merugikan kita.

Bahkan, menjadi bahagia terus menerus ada bahayanya bagi kehidupan seseorang. Orang yang bahagia cenderung kurang persuasif, terlalu mudah percaya, dan lebih malas berpikir. Ini terungkap dalam berbagai studi yang dirangkum dalam buku The upside of your dark side : why being your whole self—not just your “good” self—drives success and fulfillment karya Todd Kashdan, dkk.

Mengapa kebahagiaan membuat kita jadi enggan mendorong orang melakukan yang kita inginkan, mudah percaya saja pada orang lain dan malas berpikir? Karena ketiga hal itu berpotensi merusak kebahagiaan kita. Mempersuasi orang berisiko ditolak, tidak percaya orang lain merusak suasana hati, dan berpikir bisa membuat lelah.

Padahal, kehidupan tidak selalu mulus. Terobsesi kebahagiaan bisa menjebak kita menyangkal kenyataan.

Keseimbangan!
Kuncinya.